RRREC Fest in the Valley: Sebuah Catatan
Tiba di Tanakita jam 11 siang, saya memutuskan untuk segera bermalas-malasan sepanjang sore. Toh, lokasinya pas untuk itu. Camping ground yang terletak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ini seolah dirancang untuk melambatkan ritme dan memberi perasaan tenang yang overwhelming. Sekian tahun melihat pohon-pohon hiasan di Jakarta, mengagetkan rasanya melihat hamparan hijau seluas ini dan menghirup udara sesegar ini. Impuls pertama adalah untuk mengambil kursi, duduk bersandar menatap lembah Situ Gunung, dan membaca buku sambil memainkan musik-musik folk romantis di kepala.
Namun, ritme tenang ini hendak ditabrakkan dengan sesuatu yang kontas. Ruang Rupa Record Festival (RRREC Fest) 2014 dibawa dari jalanan Cikini dan bar sempit ibukota ke lembah asri ini, bersama amunisi band-band lintas genre dan berbagai workshop, diskusi, dan bazaar. Sebuah festival yang biasanya ramai, bising, dan liar berpindah tempat di Tanakita. Sejak pertama mendengar desas desus diadakannya RRREC Fest dengan konsep ini, saya sudah tak sabar ingin hadir.
Usai makan malam pada jam 19.30, rangkaian acara RRREC Fest dimulai. Hari pertama akan diisi pemutaran film layar tancap yang berlangsung di Tanakita Camping Ground, serta DJ dan karaoke sessiondi Villa Merah, sebuah villa kecil tak jauh dari lokasi camping ground. Layar Tancap RRREC Fest dimulai dengan ‘Focus on Vincent Moon‘, pemutaran beberapa film karya sutradara asal Prancis, Vincent Moon. Dibuka dengan Merapi Bergaya, dokumentasi perjalanan seniman asal Amerika Serikat, Arrington de Dyoniso, keliling pulau Jawa. Dalam film tersebut, ia bertemu dan bersinggungan dengan berbagai budaya lokal. Kolaborasinya dengan sebuah orkes gamelan dan tari tradisional menjadi highlight film ini. Menenteng saksofon yang jadi andalannya, Arrington membawa tarian orkes gamelan yang begitu familier ke ranah yang tak pernah tersentuh sama sekali.
Film ‘Tarawangsa: The Sacred Music of Sunda‘, adalah antitesis Arrington. Apabila film Arrington menyajikan budaya lokal dengan bumbu anyar, Tarawangsa menggali identitas asal itu secara mendalam, menyajikan panorama desa dengan iringan kecapi yang membius. Kemudian, pada ‘The Trees & The Wild: A Take Away Show‘, grup indie folk asal Jakarta itu berkeliling di jalanan ibukota, memainkan musik mereka pada pejalan kaki dan pelanggan warung. Format serupa juga dilakukan White Shoes and The Couples Company, yang bermain di jalan dan perkampungan sekitar Cikini. Berikutnya, kompilasi ‘Video Musik Indonesia yang Menginspirasi (2001-2011)’ dimainkan. Berisi video klip klasik seperti Lingkar Labirin dari The Brandals, Modern Bob dari The Upstairs, hingga Selecta Pop dari Club Eighties, kompilasi ini adalah campuran antara dokumentasi perjalanan scene musik independen kita, dengan nostalgia yang membludak.
Beranjak dari Layar Tancap, saya berjalan menuruni lembah ke Villa Merah, di mana sesi DJ dan karaoke tengah berlangsung. Meski melewatkan DJ Xing Xing dan Virgo A Go Go, saya masih sempat menonton aksi karaoke massal dan workshop yang dibawakan Oomleo. Sembari memutar lagu-lagu evergreen indiemacam There is a Light That Never Goes Out dan Don’t Look Back in Anger, Oomleo (mencoba) memandu workshop tentang cara menghilangkan vokal dalam lagu, sehingga lagu tersebut bisa digunakan untuk karaoke pribadi. Namun, seruan dari penonton yang ingin bernyanyi saja membuat workshop ini tak lancar. “Wah, salah nih bikin workshop jam segini,” cuap Oomleo disambut gelak tawa penonton. Jelang jam 2 pagi, penonton masih meminta tambahan lagu, namun Oomleo menutup sesi karaoke dan mengirim para penonton ke tendanya masing-masing. Usai sedikit percakapan penutup, bir terakhir ditenggak dan rokok-rokok mulai dipadamkan. Gerimis perlahan reda, dan suara jangkrik kembali terdengar.
Pada pagi hari kedua, co-reporter saya, Dhina, tiba. Terengah-engah setelah ujian di kampusnya, ia menenteng jaket biru dan menjejakkan kaki di Tanakita saat jam sarapan pagi nyaris usai. Hari kedua adalah hari paling padat sepanjang pagelaran RRREC Fest in the Valley. Mulai dari pameran, workshop, diskusi, hingga konser dan DJ terkumpul pada hari kedua. Kedua panggung hanya bisa dicapai dengan menuruni bukit Tanakita Camping Ground, dan penonton perlu menaiki bukit lain untuk mencapai panggung musik elektronik yang terletak di Villa Merah. Usai sarapan yang mengenyangkan, saya dan Dhina bersiap-siap untuk berkali-kali naik-turun lembah Situ Gunung demi mengejar berbagai acara.
Hari kedua RRREC Fest in the Valley dimulai dengan diskusi ‘Peraturan Ga Penting’ dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Pada obrolan ini, para pembicara – Afra Suci (Pamflet), Popo (visual artist), dan Miko Susanto Ginting (PSHK) – mempertanyakan beragam peraturan dan undang-undang di Indonesia yang dianggap berlebihan dan patut diperdebatkan. Mulai dari pasal pencemaran nama baik di Undang-Undang ITE yang belum lama ini (lagi-lagi) memakan korban hingga Undang-Undang Anti Pornografi & Pornoaksi yang kontroversial, mereka mempersoalkan perlu tidaknya peran negara dalam ‘mengawal’ ekspresi dan kebebasan publik.
Internet, selain seni, dinilai jadi salah satu titik persoalan yang utama. “Pembuat kebijakan tidak mengerti nature dunia digital seperti apa. Di ranah digital, batas antara ruang publik dan privat menjadi kabur.” Ujar Afra. “Pemerintah melihat anak muda sebagai pengguna internet yang pasif. Mereka tidak merasa bahwa kita bisa membuat sesuatu yang positif lewat Internet.” Dua seniman visual yang dikenal dengan karya yang kritis namun jenaka, The Popo dan penanggap dadakan Komikazer, berbagi pengalaman mereka menyiasati sensor dan tanggapan keras dari publik. “Gue sempat dituduh black campaign karena bikin komik soal HAM.” Terang Azer. “Jadi gue menyiasatinya dengan buka dialog di comment section. Akhirnya banyak yang mencari tahu sendiri dari sana.”
Siasat ini juga dibicarakan oleh diskusi terbuka yang dipandu KontraS soal Kebebasan Berekspresi, yang berlangsung tak jauh dari sana. “Seni memang punya tradisi menyiasati sensor dengan menggunakan metafora atau humor,” ucap Ade Darmawan, direktur ruangrupa dan salah satu pembicara. “Namun, resiko pendekatan ini, seni itu sendiri jadi tidak benar-benar menyerang dan mengganggu hukum secara konstan.” Ia justru melihat peluang di halaman komedi satir Facebook macam Anda Bertanya Habib Rizieq Menjawab dan Prabowo Presiden Semua Partai dan Golongan. “Mereka menyerang secara aktif, tidak hanya pasif seperti karya patung, misalnya.” Lanjut Ade. “Kita butuh lebih banyak karya yang menyerang seperti itu.”
“Di Pemilu kemarin, kebebasan berekspresi dinikmati penguasa. Dalam bahasa Twitter, kita me-retweetsaja.” Ucap Haris Azhar, moderator acara dari KontraS. “Bagaimana cara kita mengambil kembali seni itu sendiri, dan menggunakannya sebagai cara untuk menyerang suatu isu secara agresif? Itu yang penting. Ketika ekspresi kita dibungkam, bagaimana cara kita melawan dengan ekspresi yang lain?”
Jelang makan siang, penampil pertama, Tetangga Pak Gesang, telah siap di bibir panggung dadakan Tanakita. Duo folk asal Bandung ini membawa topeng gajah dan jerapah, menyanyikan lagu-lagu ceria dengan ukulele yang sarat harmonisasi. Selang sekitar setengah jam kemudian, saya dan Dhina menuruni lembah untuk menonton band indie/folk rock Ibukota, Backwood Sun. Musik mereka yang terdengar seperti Fleet Foxes versi urban bergema dengan pas di panggung RRREC Fest. Ketika penampil berikutnya, jagoan indie Bangkutaman naik panggung, kami melongok dengan khawatir pada langit yang semakin kelabu. Dan benar – tiga lagu pertama Bangkutaman dimainkan di tengah hujan yang semakin deras. Hujan yang, akhirnya, menghentikan konser Bangkutaman untuk sementara, setelah atap panggung bocor.
Sembari menunggu konser kembali dilanjutkan, Dhina melipir ke bibir panggung dan bereksperimen dengan memotret di balik jas hujan ala Glastonbury yang kami kenakan, sementara saya bermain bola dalam lumpur bersama beberapa penonton dan panitia. Usai tertunda sekitar 30 menit, konser dilanjutkan kembali. Penyanyi/bassis Wahyu ‘Acum’ Nugroho berteriak mengajak penonton ikut bernyanyi dan bertepuk tangan, mengabaikan hujan yang mulai berkumpul lagi, lantas menutup set dengan ‘Ode Buat Kota.’
Hari semakin sore, dan udara dingin pasca hujan mulai membuat penonton menggigil. Ari dan Reda lantas muncul di panggung 2, menemani matahari yang perlahan-lahan terbenam dengan musikalisasi puisi dan petikan gitar lembut mereka yang memabukkan. Nomor ‘Sajak Kecil Tentang Cinta’, musikalisasi puisi karya Sapardi Djoko Darmono, menjadi highlight penampilan mereka. “Mencintai gunung harus menjadi terjal, mencintai cakrawala harus menebas jarak,” nyanyi mereka. “Mencintaimu harus menjelma abu.” Dua musisi senior ini turun panggung disambut tepuk tangan meriah penonton. Di panggung 1, grup psych/raga rock Ramayana Soul lantas memulai konser mereka. Momen terbaik mereka hadir di ‘Dimensi Dejavu’, yang digambarkan penyanyi Erlangga ‘Angga’ Ishanders sebagai lagu “pecun Kemayoran.” Angga wara-wiri di sekitar panggung, berteriak dan bergelung di lumpur depan panggung sementara Ramayana Soul memainkan psychedelic rock yang sarat lick ala Britpop dan sentuhan India.
Usai rehat sejenak untuk makan malam, Pandai Besi disusul Rabu meramaikan panggung RRREC Fest. Uniknya, dua momen terbaik konser masing-masing band terjadi saat mereka memainkan cover versiondari lagu band lain. Remix lagu Efek Rumah Kaca, ‘Insomnia’, versi Voyagers of Icarie yang di-cover ulang oleh Pandai Besi serta cover ‘Panggilan Dari Gunung’ karya Iwan Fals adalah kejutan manis dari kedua band. Usai Rabu, Dhina dan saya berpisah – ia menonton grup indie-rock Jirapah, sementara saya naik ke panggung Villa Merah untuk menonton penampilan solois elektronika asal Singapura, The Analog Girl.
Semangat kami sama-sama diuji di sini. Sementara Dhina masih bergerilya menghadapi hujan yang semakin deras di panggung, saya terjebak di tenda makan malam bersama beberapa personil Ramayana Soul, Pandai Besi, dan Bangkutaman. Selagi kami berdebat dengan satu sama lain soal siapa yang semestinya menantang hujan untuk membeli kopi panas bagi semua orang, Dhina menikmati Matajiwa dan Pure Saturday yang menutup panggung hari kedua RRREC Fest. Dengan penuh penyesalan, saya melewatkan Dangerdope dan Matajiwa, sebelum Dhina terseok-seok berteduh di tenda makan malam dan bergabung dengan kami sampai hujan reda. Meski di Villa Merah masih ada trio DJ Viva Los Amigos, DJ Uda Sjam, dan DJ Robot yang akan meramaikan pesta sampai pagi, saya dan Dhina memutuskan untuk kembali ke penginapan dan terkapar lebih awal. Sayup-sayup, kami mendengar suara kerumunan penonton berkaraoke massal menyanyikan ‘It Must Have Been Love‘ karya Roxette. Kami bersulang susu botol dan tertidur pulas.
Minggu adalah hari terakhir RRREC Fest in the Valley. Dimulai dengan workshop pembuatan poster di Tanakita yang dipandu Oomleo, Marishka Soekarna, dan Cut and Rescue, dan workshop Multimedia yang dipandu Benny Wicaksono di Villa Merah. Pada saat bersamaan, saya pindah ke lapak sebelah Tanakita Camping Ground untuk menghadiri sesi diskusi “Art Matters”. Diskusi ini dipandu Koalisi Seni Indonesia (KSI), sebuah koalisi 80 organisasi seni budaya yang bekerja di bidang advokasi kebijakan terkait seni budaya. Menghadirkan Ika Vantiani dari KSI dan Ricky Virgana dari band White Shoes and the Couples Company sebagai pembicara, diskusi ini berlangsung dengan alur open mic yang mengalir.
Pengunjung diajak untuk berbagi pengalamannya dalam berkesenian, dan merespon pertanyaan yang diusung KSI: Apakah seni itu penting? “Ada sedikit sekali organisasi yang menujukkan langkah-langkah berkesenian. Menjadi seniman itu sebuah proses yang tak pernah diterangkan.” Ucap Ade Darmawan, direktur ruangrupa yang ikut berbagi opini. “Kita sebagai masyarakat tidak diajarkan bahwa bahkan baju yang kita pakai punya latar belakang kesenian.” Ini berujung pada persepsi miring masyarakat soal kesenian. “Masyarakat berpikir seni tidak menghidupi.” Ujar Haris Azhar dari KontraS. “Tapi ini bukan masalah seni, ini karena ada kultur kompetitif di masyarakat.”
Kesenian tak hanya dikungkung oleh asumsi masyarakat. Ia juga dibuat pincang dengan berbagai kebijakan aneh yang dicanangkan pemerintah – misalnya Rancangan Undang-Undang Kebudayaan yang berencana membentuk Komisi Perlindungan Kebudayaan, yang di antaranya berisi polisi, budayawan, serta pemuka agama. Komisi itu rencananya akan bertugas untuk memilah, ekspresi budaya mana di masyarakat yang dianggap ‘negatif’ dan tak layak dipertahankan. Jelas, adanya Komisi semacam ini akan berujung pada munculnya lembaga sensor tak resmi yang malah semakin membungkam kreativitas. “Kesenian di mata birokrasi sebatas hiburan dan tari-tarian, acara wayang semalaman. Hubungan seni dengan kehidupan sehari-hari tak dilihat.” Terang Ika Vantiani, perwakilan KSI. “Bagi mereka, membiayai pameran sudah cukup untuk membangun kebudayaan.” Mendidik ulang kalangan birokrasi, menurut Ika, adalah salah satu pekerjaan rumah utama bagi KSI.
Selepas istirahat makan siang, kamu turun lembah untuk terakhir kalinya. Di panggung 2, Seroja telah siap tampil. Proyek kolaborasi antara Rully Shabara (Zoo) dengan Soni Irawan (Seek Six Sick) ini berdiri rapi di depan panggung, dengan kostum rapi dan membawa berbagai gendang. RRREC Fest in the Valley adalah panggung pertama mereka sebagai band, dan mereka tak mengecewakan. Suara-suara yang mereka ciptakan seperti menggabungkan sisi lebih tenang dari Zoo dan Seek Six Sick, sembari memanggil kembali arwah Semakbelukar yang telah bubar. Voyagers of Icarie, band asal Jakarta yang baru-baru ini bereuni, menyusul di panggung sebelah. Musik mereka sulit didefinisikan, meski perbandingan dengan Pandai Besi, proyek lain penyanyi Monica Hapsari, jelas tak terhindarkan lagi. Setelah Icarie membius penonton dengan harmonisasi vokal mereka, kami dibuai dengan petikan gitar akustik dan vokal lembut Liyana Fizi, solois asal Malaysia. Langganan panggung indie ibukota, White Shoes and the Couples Company, tampil setelah Liyana sebelum solois free-improvisation asal Jepang, Kazuhisa Uchihashi, menutup pagelaran RRREC Fest dengan penampilannya yang sukses merebut perhatian saya sepenuhnya. Kolaborasi-nya dengan Rully Shabara bisa jadi adalah momen terbaik atau teraneh sepanjang RRREC Fest berlangsung.
RRREC Fest in the Valley, tak bisa dipungkiri, adalah konsep yang ambisius. Meski #Float2Nature telah menunjukkan bahwa konser memang bisa dilaksanakan di konteks alam terbuka, RRREC Fest tak hanya mengadakan konser musik. Mereka juga membawa berbagai workshop, pameran karya, dan sesi diskusi ke Tanakita. Lebih dari sekedar konser, ia adalah sebuah festival. Namun, sayangnya pagelaran RRREC Fest tahun ini terbilang tak seramai biasanya. Jarak antar panggung yang cukup jauh dan sulit ditempuh pun membuat saya seringkali ragu untuk terlalu banyak wara-wiri keliling panggung. Para penyelenggara RRREC Fest harus mati-matian beradaptasi dengan kondisi lokasi di Situ Gunung yang memang nyaman, namun jelas tak sepenuhnya ideal untuk sebuah festival besar-besaran.
Menariknya, masyarakat sekitar pun terlihat ikut menikmati musik yang tersaji di RRREC Fest, meski hanya segelintir dan masih malu-malu. “Banyak pekerja di sini (Tanakita) juga warga sekitar, dan mereka bantu kami jelasin ke warga soal acara ini.” Terang Isep Kurnia, manajer Tanakita Camping Ground. “Jadi, walaupun tidak ada promosi yang besar di sekitar Situ Gunung, warga sudah tahu akan ada acara seperti ini dan tidak kaget.” Namun, bukan berarti musik-musik nyentrik yang diusung RRREC Fest dapat dicerna dengan mudah oleh warga. Dhina menceritakan dengan geli tentang seorang Ibu-Ibu yang refleks menutup telinga anaknya saat vokalis Ramayana Soul berteriak-teriak di nomor ‘Aluminium Foil’. Saya pun merasa terharu sekaligus tergelitik melihat anak-anak dari perkampungan sekitar melongo menonton kolaborasi Rully Shabara dengan Kazuhisa Uchihashi, yang sudah terhitung aneh bahkan dalam standar Jakarta sekalipun. Tapi, Isep merasa warga menyambut baik acara tersebut. “Ini sesuatu yang baru bagi kami.” Ujarnya. “Belum pernah ada acara semacam ini di Situ Gunung sebelumnya, jadi ada ketertarikan tersendiri dari warga.”
Saya tidak tahu apakah ruangrupa, penyelenggara RRREC Fest in the Valley, berniat mengadakan pagelaran yang sama ambisiusnya tahun depan (MC Gilang Gombloh berkelakar pada penutupan, “Tahun depan, RRREC Fest diadakan di Ranu Kumbolo!”). Bila mereka berencana – atau lebih tepatnya, berani – mengadakan RRREC Fest in the Valley lagi tahun depan, saya akan salut. Terlepas dari keterbatasan dan kekurangan teknis yang mendera acara ini, RRREC Fest in the Valley semacam memecah stagnasi. Menonton band-band seperti White Shoes and the Couples Company atau Ramayana Soul di Cikini atau Jaya Pub memang terasa menyenangkan. Tapi, menonton mereka di alam terbuka memberi sensasi yang jauh berbeda. Setidaknya, RRREC Fest tak lagi identik dengan Cikini. Festival semacam ini tak lagi identik dengan kota. Dan yang paling penting, saya bisa menonton Ari dan Reda di perbukitan sembari matahari terbenam..
****
Hampir tengah malam di Tanakita. Rombongan penonton dan penampil sudah lama pulang, mengendarai bis kembali ke Jakarta. Dhina pun sudah beranjak kembali ke Bandung. Yang tersisa saya dan beberapa teman dari ruangrupa dan Tanakita. “Gue ada wine, nih.” Ujar Ade Darmawan sambil tersenyum. Kami pun minum sampai tandas ditemani gitar akustik dan pisang goreng.
Saat Kazuhisa Uchihashi turun panggung di akhir RRREC Fest, waktu menjelang Maghrib. Bukit terjal tempat Tanakita Camping Ground berada mulai penuh sesak dengan penonton yang sudah ingin meringkuk kembali ke tenda. Saya dan Dhina terseok-seok mandi lumpur bersama dua penonton lain, seorang wisatawan asal Inggris yang datang bersama pacarnya. Kabut mulai menebal, dan suara jangkrik memenuhi udara.
“Suara apa itu?” tanya sang wisatawan.
“Jangkrik,” jawab saya. “Setelah musiknya reda, suara mereka terdengar.”
Ia tertawa terbahak-bahak. “So, after the music stops, it goes on?”
Saya tersenyum lebar. “Indeed, it goes on.”
Raka Ibrahim, 2014
Sumber wearedisorder.org
0 Comments