Membangun Daya Padu
”Kebudayaan adalah perjuangan manusia untuk hidup bersama alam dan zamannya” Ki Hajar Dewantara
Menjelang ulang tahun yang ke-72, Negara Kesatuan Republik Indonesia masih berjuang untuk menghadirkan tata nilai dalam kehidupan bernegara bagi masyarakatnya. Potensi yang ada, karena memiliki berbagai sumberdaya alam dan suku bangsa, belum mampu menjadikan Indonesia menemukan “Indonesia Raya” yang menjadi visi bangsa Indonesia sejak merdeka.
Setelah dilantik sebagai Presiden RI yang ketujuh, Joko Widodo dalam banyak kesempatan menyebutkan peningkatan daya saing sebagai salah satu kunci kemajuan bangsa Indonesia. Meningkatkan daya saing berarti meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anak bangsa dengan berbagai latar belakang budaya yang tumbuh karena lingkungan alamnya. Keragaman kebudayaan ini membutuhkan keberagaman model dan kurikulum pendidikan. Kalaupun ada dasar persamaannya, Ki Hajar Dewantara mengemukakan dua hal yang utama: Kemerdekaan dan Kodrat Alam. Kemerdekaan yang menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin, serta kodrat alam sebagai pijakan untuk mencapai kemajuan.
Pendidikan sebagai Penyadaran Keunggulan Komparatif
Datangnya sukses dan berdaya saing bukan hanya diperoleh lantaran menang dalam persaingan kompetisi, salah satu contoh adalah upaya pendakian gunung. Reinhold Messner, pendaki gunung asal Tyrol, kota kecil di perbatasan Italia dan Jerman ini telah sukses mencapai puncak gunung tertinggi di dunia, Mount Everest (8884 meter di atas permukaan laut), seorang diri tanpa oksigen. Messner dalam sebuah wawancara mengatakan, bahwa dia tidak menjadi sukses dalam bidangnya karena lebih besar atau lebih cerdas daripada yang lain. Tidak! Dia menjadi sukses karena dia memiliki kemauan untuk gagal dan untuk mencoba lagi , lagi, dan lagi. Messner juga menambahkan ”Saya ingin menghapus semua kompetisi di kegiatan alam terbuka. Kompetisi bukan hal yang penting. Yang penting adalah bagaimana belajar berperilaku dengan alam liar”. Messner meraih keberhasilan dalam petualangan pendakian gunung dengan cara berkompetisi dengan dirinya sendiri, membangun budaya kerja sendiri, yaitu belajar beradaptasi, berperilaku menyesuaikan diri dengan kondisi alam semesta.
Buah pengalaman Messner ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Guru Bangsa kita, Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah perjuangan manusia untuk hidup bersama alam dan zamannya. Indonesia harus menemukan perjuangan hidupnya sendiri dan tidak perlu terjebak dalam win-lose game dengan negara-negara lain, karena bangsa Indonesia menempati lingkungan alam yang berbeda dengan negara lain. Di awal kemerdekaan Indonesia, para Guru Bangsa telah mampu merumuskan landasan bagi kehidupan bernegara kita, yang menempatkan Indonesia Raya sebagai arah dan tujuan hidup berbangsa dan bernegara, dan memilih kalimat Bhinneka Tunggal Ika sebagai tag-line yang mewakili keseluruhan strategi kebudayaan kita. Mereka telah menempatkan suatu tata nilai yang diyakini dapat mengantarkan kita menggapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.
Di dalam kata bhinneka tunggal, keberagaman yang menyatu, dapat kita maknai sebagai pesan untuk membangun sesuai dengan keunggulan komparatif di tiap-tiap wilayah di Tanah Air Indonesia, sekaligus mengandung pesan kepada kita untuk bersatu-padu mengemasnya dalam satu kesatuan sebagai inti kekuatan.
Kita dapat melihat dengan kacamata berbeda-beda untuk sebuah pencapaian kemajuan atau kesuksesan. Contoh lain adalah ketika Joko Widodo menjadi calon presiden dan kemudian terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ketujuh. Kita dapat melihat bahwa Jokowi telah mampu “menjual” keunggulan komparatifnya dengan baik: sederhana, jujur, bersih, pro-rakyat, dan pekerja keras. Padahal kalau dibandingkan dengan kandidat lain, maka Jokowi bisa dibilang kalah potensi: kalah ganteng, kalah kaya, kurang dukungan partai, dan dianggap kurang pengalaman untuk pengelolaan lembaga pemerintahan, karena Jokowi “cuma” pernah menjabat walikota. Jokowi telah sukses mengolah keunggulan komparatifnya sedemikian apik hingga menjadi kekuatan yang berdaya saing tinggi. Ternyata untuk memiliki daya saing, yang diutamakan adalah kemampuan untuk memahami dan mengolah potensi diri sendiri.
Hal ini klop dengan apa yang dipaparkan oleh Renée Mauborgne dan W. Chan Kim dalam bukunya yang berjudul Blue Ocean Strategy yang terbit pada tahun 2005. Mereka menyuguhkan cara-cara bagaimana membuat Ruang Pasar tanpa kompetisi dan membuat persaingan menjadi tidak relevan. Mereka justru menyarankan untuk tidak masuk pada pasar yang sudah ramai, tetapi lebih banyak upaya untuk menciptakan produk yang kreatif, yang belum pernah ada, yang membuat kita tidak pusing dengan kompetisi atau persaingan.
Inilah cara-cara sukses berdaya saing tinggi tanpa harus harus berlomba berupaya mengalahkan kemampuan pihak lain. Yang dilakukan adalah menemukenali keunggulan komparatif dan mengolahnya menjadi berdaya saing tinggi. Bagi bangsa Indonesia, yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk menciptakan model dan susunan kurikulum pendidikan yang tepat bagi sumberdaya manusia Indonesia dengan latar belakang keunggulan komparatif sumberdaya alam kita.
Yang menjadi pertanyaan adalah masihkah kita berupaya menciptakan model dan kurikulum pendidikan yang seragam di seluruh Tanah Air Indonesia?
Pendidikan Melek Tuan Rumah
Tujuan pendidikan semestinya tidak saja membuat anak bangsa melek huruf dan melek profesi, tetapi juga melek tuan rumah. Sikap tuan rumah itu seperti halnya kita mengenali, memahami, berwenang dan menyayangi barang-barang, hal-hal dan keadaan di rumah kita sendiri. Kita mengenali seluk beluk rumah kita, berdaulat atas lingkungan hidup, hutan-hutan dan lautan kita sendiri. Pendidikan yang menjadikan kita melek sebagai tuan rumah penting untuk menjaga kedaulatan rakyat dan negara atas harta dan kekayaan alam yang kita miliki. Melek tuan rumah akan mendorong masyarakat melakukan pengembangan lingkungan hidupnya sendiri, tanpa menunggu bantuan. Sekalipun tidak ada uang, masyarakat akan memelihara dan memperindah lingkungan hidupnya, dengan cara apapun, karena masih memiliki tenaga dan pikiran untuk bekerja dan berkarya.
Penghargaan kepada para peneliti di hutan dan lautan kita juga masih sangat minim. Kita belum dapat menjumpai stasiun penelitian yang mapan di Taman Nasional kita. Padahal dari sanalah semestinya sumber dari seluruh program kesejahteraan bagi masyarakat sekitar hutan dihasilkan. Dari sanalah program pendidikan bagi anak bangsa disusun. Dari sanalah rencana kebudayaan baru, perjuangan manusia untuk hidup dengan alam lingkungannya di masa depan dikembangkan. Merekalah yang dapat menghasilkan sumber ilmu pengetahuan bagi bangsa Indonesia di masa depan.
Jangankan fasilitas stasiun penelitian dan anggaran yang memadai, sudah sering kita mendengar bagaimana nasib para peneliti kita yang kurang dihargai. Mereka bekerja di hutan-hutan kita sendiri, yang bekerja keras meneliti dan menulis laporan penelitian, tetapi kemudian nama yang muncul bukanlah nama mereka, melainkan peneliti lain, baik lokal maupun asing. Kok seperti telur mata sapi saja: ayam yang bertelur, sapi yang dapat nama.
Para peneliti berperan penting bagi perencanaan kebudayaan bangsa Indonesia. Hasil karya mereka sangat dibutuhkan untuk membuat kita menjadi melek dengan potensi kekayaan alam yang kita miliki untuk membangun daya saing berdasarkan keunggulan komparatif dari bangsa-bangsa lain di dunia.
Melek tuan rumah juga menjadi landasan bagi upaya membangun kepariwisataan Indonesia. Dengan menyadari bahwa pariwisata “hanya” menumpang di atas praktik-praktik kebudayaan yang berjalan baik, maka masyarakat diajak untuk membangun dasar utama pariwisata, yaitu cara hidup sehari-hari mereka, kebudayaan mereka. Pariwisata adalah mengembangkan nilai tambah dari kebudayaan mereka: membangun nilai tambah dari harmoni kehidupannya, nilai tambah dari pertaniannya, dan nilai tambah dari pengelolaan secara arif hutan serta lautnya.
Karena masyarakat melek tuan rumah, Indonesia akan memiliki keragaman produk dan destinasi wisata. Masyarakat akan mengembangkan produk berdasarkan keunikan daerahnya sendiri-sendiri, yang dapat membuat wisatawan tertarik untuk bergerak dari satu pengalaman ke pengalaman yang berbeda. Produk wisata yang memberi rasa dan pengalaman mewah pada seluruh panca indera tamu-tamu dengan sajian khas berselera tinggi. Sajian kesenian masyarakat yang berasal dari kekhusyukan dan doa menjelang musim tanam. Kesenian masyarakat yang dihasilkan dari kegembiraan keberhasilan panen mereka. Sehingga pariwisata Indonesia akan bisa berteriak menjajakan pariwisatanya “Ayo mister! Experiencing Borneo, Experiencing Celebes, Experiencing Papua, Sumatera, Java! Ayo mister, Experiencing Indonesia!”
Pendidikan melek tuan rumah diperlukan untuk memaknai daya saing secara tepat. Sungguh celaka kalau persaingan dimaknai sangat sempit, di mana sumberdaya manusia Indonesia diletakkan hanya dalam bingkai kemampuannya meningkatkan produktivitas barang dan jasa semata.
Apa gunanya bila mereka harus berkompetisi dengan sumberdaya manusia negara lain, tetapi buntut-buntutnya setelah mereka menang malah membesarkan perusahaan milik bangsa lain?
Pendidikan Membangun “Daya Padu”
Indonesia telah dianugerahi lingkungan hidup yang kaya raya. Mungkin ini sebabnya kita lebih mengembangkan sikap-sikap berbagi daripada sikap-sikap bersaing seperti halnya bangsa-bangsa lain yang memiliki keterbatasan sumberdaya alamnya. Kita lebih mengembangkan kegembiraan gotong-royong, daripada kerja sendiri-sendiri. Dan kita juga lebih mengembangkan budaya nongkrong untuk bertukar pendapat, berbagi visi dan dalam pengambilan keputusan. Barangkali inilah gambaran bagaimana hubungan kita dengan alam telah mempengaruhi cara-cara hidup dan kebiasaan kita dalam membangun relasi antar manusia.
Dalam membangun dan meningkatkan keunggulan komparatif dari negara lain, hendaknya kepada masyarakat yang didorong bukanlah bersaing satu sama lain, bukan daya adu, melainkan Daya Padu: kemampuan berorganisasi, kerjasama, bersepakat, gotong-royong, menghargai keberagaman, menghargai kepemimpinan, selaras menyatu dan saling menguatkan. Membangun Daya Padu berarti memberikan kesempatan luas kepada anak-anak kita belajar berorganisasi sesuai dengan minat mereka: marching band, paduan suara, sepak bola, pramuka, pencinta alam, dan semacamnya, yang mendidik anak-anak kita membangun cita-cita bersama, melatih anak-anak kita memimpin dan dipimpin serta belajar mengambil keputusan. Ini bukan ekstra atau bonus kurikuler. Ini adalah bagian dari makanan pokok pendidikan kita. Jadi, buatkanlah anak-anak kita lapangan olahraga dengan segenap rutinitas kompetisinya. Fasilitasi mereka dengan pusat-pusat kesenian dengan segenap pelatihnya, dan ajari mereka integritas: bertanggungjawab pada kepentingan yang lebih tinggi, sehingga kelak mereka tahu apa itu amanat rakyat dan tidak berkhianat pada rakyat.
Maksud hati ingin meningkatkan daya saing, tetapi ironisnya praktik-praktik dalam dunia pendidikan kita justru menunjukkan persaingan antar kita sendiri. Persaingan hanya sebatas ukuran angka-angka, bukan kualitas kemanusiaan anak didik. Orangtua dipaksa bersaing secara materi, untuk dapat mendapatkan sekolah terbaik bagi anak-anaknya. Guru-guru sibuk belajar bahasa Inggris atas nama mengejar daya saing internasional, dan sekolah-sekolah mengejar nilai tinggi bagi siswanya, sehingga harus melakukan remedial berkali-kali dan bahkan bila perlu kasih contekan demi mengejar 100% kelulusan.
Pendidikan juga telah dianggap semacam hitung-hitungan dagang yang harus secepatnya terbayar kembali. Karena itu kejar kelulusan, kejar pekerjaan, cari uang, kembalikan biaya belajar yang mahal itu. Akibatnya anak-anak sudah tidak lagi mempunyai cukup waktu untuk bahagia: membaca buku yang mereka sukai, menekuni olahraga yang diminati, mengungkapkan rasa-merasa-nya lewat kesenian, apalagi melakukan perjalanan mengenali ragam masyarakat dan lingkungan alam Indonesia.
Salah kaprah “meningkatkan daya saing” ini jangan sampai membebani anak-anak, sekolah-sekolah, guru-guru, dosen-dosen dan para orang tua. Jangan sampai jadi teroris yang memicu persaingan tidak sehat di antara mereka sendiri. Daya saing adalah semata hasil dari bagaimana rencana kita membangun budaya kerja melalui pendidikan dan praktik-praktik sehari-hari dalam kehidupan bernegara. Jangan biarkan anak-anak kita terperangkap dalam kurungan sistem dan strategi pendidikan nasional yang membuatnya tidak cukup waktu untuk bahagia dan bangga dengan lingkungan alamnya sendiri.
Pendidikan Bangga Bahasa Indonesia
Banjir istilah-istilah keren yang muncul ke kosakata kita, tanpa kita sadari telah membuat kita selalu “merasa tertinggal”. Kata kata semacam Competency, Green Investor, Enterpreuneurship, Ecotourism, membuat kita merasa tertinggal, gagap dan bodoh terus menerus. Akibatnya kita terima tanpa reserve semua standar yang dibangun oleh pihak lain, yang belum tentu memberi manfaat lebih besar kepada bangsa dan negara kita sendiri.
Di tahun 90-an kita telah mendengar istilah standar kompetensi yang mulai digunakan dalam menata dan mengembangkan sumberdaya manusia organisasi perusahaan di Indonesia. Belakangan kurikulum pendidikan kita juga telah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Hari-hari ini pun masih kita mendengar di berbagai departemen sedang berupaya menyusun standar kompetensi.
Tetapi sampai hari ini, kita masih saja mendengar keluhan guru-guru dalam upaya menerapkan proses belajar mengajar berbasis kompetensi. Entah sampai kapan kebingungan mereka akan selesai. Sangat jelas bahwa kendala bahasa adalah salah satu faktor yang membuat kelambanan melakukan perubahan itu. Bahasa yang digunakan dalam standar kompetensi seringkali tidak memiliki padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia. Mereka lebih memahami istilah pengetahuan, keterampilan dan sikap serta perilaku daripada istilah-istilah keren seperti hard-skills dan soft-skills. Haruskah kita membuang-buang waktu begitu lama untuk ini?
Bahasa menunjukkan bangsa. Mengapa Black Coffee lebih mahal dari Kopi Hitam? Mengapa kita harus mengeluarkan kocek lebih besar untuk rumah yang di papannya tertulis “for rent” daripada yang “disewakan”? Mengapa kita menggunakan istilah Busway dan bukan jalur bus? Mengapa kita tidak menggunakan kata “Masuk dan Keluar” tapi “in dan Out” untuk papan rambu di pusat perbelanjaan?
Upaya memperbaiki penggunaan Bahasa Indonesia sangat penting bagi bangsa kita yang ingin membangun jati diri. Bahasa Indonesia harus hadir dan hidup di antara kita, karena kita sadar akan kekuatan bahasa dalam menggalang “rasa hidup” berbangsa. Pemerintah perlu untuk mendorong penggunaan Bahasa Indonesia di area publik, dan menciptakan pelajaran Bahasa yang terstruktur, terarah kepada perencanaan kebudayaan Indonesia di masa depan. Memperbaiki pendidikan Bahasa Indonesia adalah salah satu upaya kita untuk membangun bangsa yang mandiri dan percaya diri, sebagai syarat menjadi bangsa yang berkesiapan “berkelahi untuk menang”.
Pendidikan Tata Nilai Bhinneka Tunggal Ika
Membangun kebudayaan Indonesia di masa depan harus mewujud pada cara-cara kita menyelenggarakan pendidikan hari ini. Kalau melihat karya-karya agung semacam Borobudur, menyimak cerita rakyat semacam Sawerigading, membaca sejarah kebesaran kerajaan Maritim Wilwatikta dan Sriwijaya, dan kecerdasan dari tokoh-tokoh di masa kemerdekaan, serta inspirasi lainnya dari sejarah kita, maka pendidikan karakter anak bangsa Indonesia semestinya menempatkan 3 (tiga) hal ini sebagai yang utama: Daya Cipta, Daya Juang, dan Daya Padu. Meningkatkan Daya Cipta yang menggunakan pikiran, kehendak dan rasa untuk mencari penemuan-penemuan dan solusi terbaik hidup bersama alam lingkungan Indonesia. Membangun Daya Juang yang membuat kita memiliki semangat pantang menyerah dan komitmen (memberikan waktu, tenaga, kemampuan) pada kerja-kerja yang membawa perubahan atas realitas diri dan masyarakat Indonesia, dan Daya Padu yang menjadikan kita bangga atas keunikan kita, menghormati perbedaan, dan mendorong kita memiliki tata organisasi dalam semangat tumbuh dan maju bersama.
Kebudayaan Indonesia adalah kumpulan saripati dari berbagai kebudayaan di tanah air. Di dalam Kebudayaan Bhinneka Tunggal, kita tidak lagi memisahkan kebudayaan pinggiran atau tengahan, apalagi kebudayaan sampingan, kebudayaan bawahan, kebudayaan dalaman, dan yang sejenisnya, yang justru dapat membuat jarak antara yang berbeda-beda, desa dengan kota, Islam dengan Kristen, Ambon dengan Jawa, dan hutan dengan lautan. Kita belajar dari sejarah jalur rempah yang dapat kita maknai sebagai hungan yang harmoni antara kebudayaan hutan dan kebun serta lautan kita.
Khusus dalam hal pengembangan daya cipta, Ki Hajar Dewantara telah menggagas prakarya sebagai pelajaran yang penting. Karya berbeda dengan kerja. Karya melibatkan cipta, rasa dan karsa, karena itulah siswa dibebaskan menciptakan sesuatu menurut rasa dan karsanya sendiri. Siswa memiliki kebebasan penuh untuk mengembangkan daya ciptanya sendiri, guru membantu proyek karya siswa dengan sarana dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan.
Kalau pendidikan kita mengembangkan model pendidikan yang memerdekakan, yang membuat melek tuan rumah, yang akan mendorong tumbuhnya Daya Cipta, Daya Juang, dan Daya Padu, maka bolehlah para pakar sosial, pakar lingkungan hidup dan pakar ekonomi kita bersatu padu menghitung ulang proyeksi-proyeksi ekonomi, dan mulai menghitung sumber-sumber kekuatan kreatif kita dalam menciptakan nilai tambah sumberdaya alam kita. Hitung-hitungan yang memberi nilai dan penghargaan pada keringat petani dan nelayan sebagai investasi, yang menilai keteguhan hati dan kecakapan kita untuk melindungi kekayaan alam sebagai keunggulan komparatif Indonesia.
Indonesia Lumbung Pangan Dunia
Pengelolaan lahan-lahan pertanian, kehutanan, dan potensi kelautan kita masih jauh dari optimal. Kekayaan alam Indonesia, baik tanah dan airnya, harus kita yakini sebagai “lumbung pangan dunia di masa depan”. Dengan kekayaan sebesar ini, tentu saja Indonesia memiliki kesempatan sekaligus risiko yang tinggi. Memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi bangsa yang besar, dan bila Indonesia tidak mampu mengembangkan kemandiriannya, Indonesia hanya akan menjadi “ajang tempur” dari masyarakat dunia. Dengan pemikiran ini, kita berharap pemerintah dapat memperjelas arah kemandirian bangsa, menyusun arah pendidikan kita menuju cita-cita Indonesia Raya dan lebih memperkuat pendidikan Kebudayaan Bhinneka Tunggal di sekolah-sekolah dan institusi pendidikan apapun di masyarakat. Saya pun percaya, masyarakat di seluruh pelosok tanah air yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara akan mau menambah waktunya ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya hingga lengkap sampai akhir stanza ketiga:
…… Slamatlah Rakyatnya Slamatlah putranya
Pulaunya lautnya semuanya
Majulah Negrinya Majulah Pandunya
Untuk Indonesia Raya.
Dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat Indonesia di pergaulan dunia, maka kita boleh bangga memperkenalkan Kebudayaan Bhinneka Tunggal sebagai budaya Bangsa Indonesia. Menyebarkannya dengan rasa yakin dan bangga. Pejabat negara lebih berani dalam mendorong rasa saling hormat antar bangsa. Negara bisa menghentikan eskalasi “upaya menguasai” dari suatu kelompok kepada kelompok lain, baik suku, ras, golongan maupun agama. Jadi kalau di Indonesia masih ada kelompok yang menyerang kelompok lain, itu bisa diartikan kelompok itu menolak untuk turut serta membangun kebudayaan Bhinneka Tunggal dan mencederai tata nilai kita, tata nilai yang menganggap letak kekuatan bangsa Indonesia justru berada di keberagaman kita.
Kita juga masih membutuhkan spirit yang ditumbuhkan oleh para pejabat negara kita.
Sulit rasanya untuk merasakan keunggulan komparatif kita bila investasi asing masih dipuja-puja setinggi langit dan disambut dengan karpet merah, sementara keringat petani dan nelayan kita tidak dihargai sebagai investasi. Akan sulit bagi masyarakat memahami dan membangun semangat percaya diri kalau pejabatnya masih tampak rendah diri ketika berhadapan dengan pimpinan negara asing.
Ya. Kita masih dan akan terus memerlukan keteladanan dari para pemimpin, para Guru Bangsa yang menunjukkan rasa percaya diri mereka, bahagia dan bangga sebagai Bangsa Indonesia, yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang sejajar dengan bangsa lain. Mari kita menulis kembali sejarah dan pemikiran para Guru Bangsa kita, mengajarkan tata nilai Bhinneka Tunggal kepada anak-anak kita.
Anak-anak kita akan belajar membangun cita-cita, rasa bangga sebagai anak bangsa Indonesia dari Soekarno.
Anak-anak kita akan belajar kerendahan hati dari Mohammad Hatta.
Anak-anak kita akan belajar keteguhan hati dan integritas dari Badaruddin Lopa dan Hoegeng.
Anak-anak kita akan belajar kesabaran, patriotisme dan rasa cinta tanah air dari Soedirman
Anak-anak kita akan belajar toleransi dari Nurcholis Madjid dan Gus Dur.
Anak-anak kita akan belajar mengungkapkan rasa merasanya dari Chairil Anwar
Anak-anak kita akan belajar sportifitas, ketekunan dan ketangguhan seorang Rudi Hartono.
Anak-anak kita akan belajar disiplin, ketekunan, berpikiran maju dan kreatif dari BJ Habibie
Anak-anak kita akan belajar memahami rasa bahagia dari Ki Ageng Soeryomentaram
Anak-anak kita akan belajar memahami integritas, tanggungjawab pada kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi, dari berbagai tradisi dan budaya bangsa-bangsa di tanah air.
Kurikulum Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter anak bangsa menjadi pembentuk kebudayaan nasional di masa depan. Kebudayaan Nasional adalah “puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang bernilai di seluruh kepulauan, baik yang lama maupun ciptaan baru, yang berjiwa nasional”. Dengan mempelajari sejarah dan memahami rencana kebudayaan Indonesia Raya, anak-anak kita akan belajar dan membangun Daya Cipta, Daya Juang dan Daya Padu. Dan kalaupun kita masih merasa asing dengan kata Daya Padu karena tidak ada didalam kamus besar Bahasa Indonesia, kenapa kita tidak menciptakannya?
Jakarta, Mei 2017
Setyo Ramadi, pencinta alam
0 Comments